perpustakaan komunitas
1. 1 Latar Belakang
Pengertian komunitas mengacu pada sekumpulan orang yang saling
berbagi perhatian, masalah, atau kegemaran terhadap suatu topik dan
memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan saling berinteraksi
secara terus menerus (Wenger, 2002: 4). Komunitas terbentuk akibat dari
persamaan minat antara individu yang kemudian membuat suatu wadah untuk
mengaspirasikan minat mereka. Setiap komunitas mempunyai ciri khas masing-
masing yang membedakan mereka dengan komunitas lain. Ciri khas tersebut
terletak pada ruang lingkup komunitas, minat, maupun tempat komunitas tersebut
berada. Keberadaan sebuah komunitas sangat ditentukan oleh aktivitas anggota,
karena sumber kekuatan utama dari komunitas adalah sumber daya manusia. Pada
umumnya komunitas mempunyai visi dan misi yang akan dicapai, dan mereka
membuat suatu program untuk menunjang visi dan misi tersebut. Program
tersebut dijadikan alat untuk mengembangkan komunitas mereka atau hanya
sekadar untuk mempertahankan eksistensi. Salah satu program tersebut adalah
mendirikan perpustakaan sederhana yang selanjutnya dinamakan perpustakaan
berbasis komunitas.
Perpustakaan berbasis komunitas mulai muncul akibat rasa tanggung
jawab oleh sebagian masyarakat dalam memperbaiki kualitas sumber daya
manusia di lingkungan mereka. Perpustakaan didirikan untuk memenuhi
kebutuhan informasi masyarakat, khususnya masyarakat dari golongan ekonomi
lemah. Selain faktor tersebut, adanya kekecewaan terhadap perpustakaan umum
turut memperkuat didirikannya perpustakaan berbasis komunitas. Menurut
Harkrisyati Kamil (2003: 3), keberadaan perpustakaan umum di Indonesia, jika
dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, masih mengecewakan.
Pelayanan perpustakaan yang tidak maksimal, kurangnya program yang
berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat, serta fungsi perpustakaan yang
belum maksimal menjadi beberapa faktor yang menyebabkan perpustakaan umum
di Indonesia tertinggal jauh dengan negara berkembang lainnya. Keadaan tersebut
ditambah oleh keputusan Pemerintah yang memberikan prioritas kepada sektor
politik dan ekonomi dibandingkan dengan pengembangan perpustakaan. Selain
kurangnya perhatian dari pemerintah, terdapat beberapa faktor lain di
perpustakaan seperti faktor dana dan kurangnya tenaga ahli. Sementara itu ada
anggapan bahwa rendahnya kebiasaan membaca merupakan beberapa contoh dari
lambatnya perkembangan perpustakaan di Indonesia. Budaya membaca masih
rendah, karena buku dianggap sebagai kebutuhan sekunder. Masyarakat secara
umum tidak terbiasa memiliki anggaran khusus untuk membeli buku, jurnal atau
terbitan berkala, terutama masyarakat ekonomi menengah ke bawah (Puspitasari,
2006: 19). Faktor lainnya adalah perbedaan kualitas jasa dan layanan yang
diberikan oleh beberapa perpustakaan umum. Perpustakaan umum yang
berkualitas hanya dapat dijumpai pada kota-kota besar.
Beberapa perpustakaan berbasis komunitas didirikan dengan tujuan
meningkatkan minat baca anak dengan menghadirkan konsep perpustakaan
sederhana, memberikan sumber bacaan yang bermutu bagi anak dari keluarga
ekonomi lemah, dan pengembangan daya imajinasi dan kreatifitas, serta
pembentukan karakter dengan moral etika yang terpuji sejak dini. Taman Bacaan
Namira yang didirikan oleh Yessy Gusman membuat beberapa program yang
bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas anak, diantaranya adanya pelatihan
melukis, pelatihan musik dan lomba membuat karya sastra. Melalui perpustakaan
berbasis komunitas tersebut diharapkan masyarakat peduli akan pentingnya
kegiatan membaca untuk mengembangkan potensi diri serta dapat meningkatkan
minat baca pada generasi muda.
Perpustakaan berbasis komunitas sebenarnya bukan fenomena baru dalam
kehidupan masyarakat. Pada awal tahun 1970, perpustakaan jenis ini sudah
bermunculan. Kemunculan perpustakaan berbasis komunitas pada saat itu lebih
merupakan suatu media bisnis. Perpustakaan di kala itu lebih tepat jika dikatakan
sebagai taman persewaan buku, didominasi buku komik dan novel. Memasuki
dekade tahun 1980, fenomena perpustakaan berbasis komunitas muncul kembali
dengan makna yang berbeda. Tidak seperti satu dekade sebelumnya, pada era ini
mulai hadir perpustakaan non-komersial yang menjadikan anak-anak sebagai
fokus perhatiannya. lembaga. Komunitas mempunyai tujuan dan alasan tersendiri dalam mendirikan
perpustakaan. Pada penelitian ini peneliti berusaha memperoleh informasi
mengenai perkembangan perpustakaan berbasis komunitas yang tercakup di
dalamnya latar belakang pendirian, fungsi, serta nilai atau norma apakah yang
ingin ditanamkan kepada masyarakat. Perpustakaan berbasis komunitas yang akan
menjadi tempat penelitian adalah Rumah Cahaya yang didirikan oleh Komunitas
Forum Lingkar Pena, Melati Taman Baca yang didirikan oleh Kelompok Kerja
Sosial Melati, dan Kedai Baca Sanggar Barudak yang didirikan oleh Komunitas
Peduli Kampung Halaman. Kriteria pemilihan tempat penelitian tersebut
didasarkan pada: Perpustakaan Berbasis Komunitas yang sudah berdiri minimal
selama 3 Tahun, pemilihan jangka waktu tersebut bertujuan untuk memastikan
bahwa Perpustakaan Berbasis Komunitas tersebut tidak merupakan trend belaka.
Selain itu kriteria lainnya adalah mempunyai Program Kerja yang berhubungan
dengan pemberdayaan masyarakat, seperti pelatihan yang bertujuan meningkatkan
keahlian dan kreativitas masyarakat.
1 Komunitas
Kata komunitas berasal dari bahasa Latin yaitu communis, yang berarti
umum, publik yang saling berbagi. Istilah community dalam bahasa inggris
berasal dari istilah Latin yaitu communitatus, awalan “Com-“ mengandung arti
dengan atau bersama, “-Munis-“ mempunyai arti perubahan atau pertukaran, dan
akhiran “-tatus” berarti kecil, intim, atau lokal (Wikipedia, 2006). Sejak akhir
abad ke 19, istilah komunitas mempunyai makna sebuah perkumpulan dengan
harapan dapat demakin dekat dan harmonis antara sesama anggota (Elias 1974,
dikutip oleh Hogget 1997: 5). Kemudian beberapa definisi tentang komunitas
mulai bermunculan. Beberapa memfokuskan komunitas sebagai daerah geografis;
sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa orang yang tinggal berdekatan; dan
ada yang melihat komunitas sebagai daerah yang mempunyai kehidupan yang
sama. Komunitas dapat berarti sebuah nilai (Frazer, 2000: 76). Komunitas dapat
digunakan untuk membawa nilai-nilai seperti: solidaritas, komitmen, saling
tolong-menolong, dan kepercayaan.
Pengertian komunitas mengacu pada sekumpulan orang yang saling
berbagi perhatian, masalah, atau kegemaran terhadap suatu topik dan
memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan saling berinteraksi
secara terus menerus (Wenger, 2004: 4). Komunitas merupakan bagian dari
masyarakat yang saling berbagi informasi mengenai suatu subjek tertentu. Mereka
mendiskusikan keadaan, aspirasi dan kebutuhan mereka (ibid: 4). Pengertian
komunitas ialah sekelompok orang yang berinteraksi dan saling berbagi sesuatu
secara berkelompok.
Keberadaan sebuah komunitas bergantung pada sukarela anggota
komunitas dan juga kepemimpinan dalam komunitas tersebut (ibid: 12). Terdapat
beberapa komunitas yang tidak berkembang, hal ini disebabkan sesama anggota
tidak terjalin komunikasi yang baik atau mereka tidak mencurahkan waktu dan
usaha untuk perkembangan komunitas itu sendiri (ibid: 12).
Ciri-ciri utama dari perpustakaan berbasis
komunitas adalah:
a) Bertujuan melayani masyarakat
Tujuan utama dari perpustakaan berbasis komunitas adalah untuk
melayani masyarakat dengan menyediakan koleksi yang dapat
meningkatkan pengetahuan dan keahlian masyarakat. Koleksi yang
terdapat pada perpustakaan berbasis komunitas bersifat umum dan tersedia
untuk semua umur.
b) Sederhana
Perpustakaan berbasis komunitas berbeda dengan perpustakaan umum
yang terdapat di masyarakat. Pada umumnya karena didirikan oleh
masyarakat atau komunitas maka perpustakaan tersebut sederhana, hanya
terdiri dari 1 – 4 ruangan atau bahkan berbagi ruangan dengan organisasi
lain. Tujuan mereka adalah untuk menyatu dengan lingkungan ketika
mereka sedang melakukan interaksi dengan masyarakat.
c) Dikelola oleh penduduk lokal
Idealnya perpustakaan berbasis komunitas dikelola oleh seorang manajer
lokal yang memiliki kemampuan mengatur organisasi lokal, mengatur
perpustakaan, dapat membangkitkan kebiasaaan pencarian informasi, dan
dapat menggunakan perpustakaan berbasis komunitas tersebut sebagai
forum yang dapat mengembangkan aktivitas tersebut. Selain kemampuan
teknis diatas, manager juga harus mempunyai komitmen dan
kepribadian yang dibutuhkan untuk memobilisasi, mendorong, dan
menginspirasikan organisasi lainnya untuk menjadikan perpustakaan
berbasis komunitas sebagai syarat penting bagi perubahan dinamis yang
melibatkan anggota masyarakat atau komunitas.
d) Bersifat Sukarela
Secara umum perpustakaan berbasis komunitas mempunyai setidaknya 1
orang staff, manager, dan mempercayakan sepenuhnya pada sukarelawan
dan anggota komunitas. Perpustakaan berbasis komunitas bukan sebuah
organisasi profit melainkan bergantung pada sumber daya yang ada, selain
sumber keuangan. Sukarelawan diperlakukan secara baik dan diberikan
tanggung jawab yang spesifik.
e) Mempunyai Strategi Gender
Pada perpustakaan berbasis komunitas terdapat kegiatan yang melibatkan
wanita, baik dalam hal sukarelawan atau menggunakan perpustakaan
berbasis komunitas sebagai fasilitas kegiatan mereka, seperti penitipan
anak, perpustakaan keliling, aktivitas wanita dll.
f) Mempunyai jaringan
Perpustakaan berbasis komunitas mempunyai jaringan antara sesama
perpustakaan berbasis komunitas lainnya. Mereka mempunyai akses
untuk saling berbagi informasi, strategi, ide, sumber daya dengan cara
tertentu. Jaringan tersebut dijadikan forum untuk saling mengetahui
keadaan perpustakaan berbasis komunitas di daerah lain atau di negara
lain, karena tiap perpuatakaan berbasis komunitas mempunyai situasi yang
berbeda satu sama lain. Selain itu dengan memperkuat jaringan maka
pertumbuhan perpustakaan berbasis komunitas akan semakin berkembang
di masyarakat.
Perpustakaan berbasis komunitas yang terdapat di Indonesia berbeda
dengan perpustakaan berbasis komunitas yang berada di negara lain. Perpustakaan
berbasis komunitas di Indonesia muncul akibat reaksi individu dan lembaga
terhadap lambatnya perkembangan perpustakaan umum yang ada di Indonesia
(Kamil, 2003: 4). Kuantitas dan kualitas perpustakaan umum yang
mengecewakan, kurangnya tenaga ahli, dan faktor rendahnya minat baca menjadi
faktor utama lambatnya perkembangan perpustakaan umum di Indonesia.
Sejumlah individu, insitusi dan komunitas kemudian berinisiatif untuk mendirikan
perpustakaan berbasis komunitas yang bertujuan membuka akses informasi
seluas-luasnya kepada masyarakat, meningkatkan minat baca bahkan
memperbaiki kualitas hidup melalui membaca.
Perpustakaan yang didirikan oleh komunitas umumnya sangat sederhana.
Latar belakang pendiriannya karena inisiatif dan kebutuhan komunitas tersebut.
Komunitas tersebut ingin mengembangkan pengetahuan anggotanya dengan
mendirikan perpustakaan. Pada perkembangannya akses perpustakaan kemudian
terbuka untuk umum. Pada umumnya koleksi yang terdapat pada perpustakaan
berasal dari sumbangan warga sekitar, lembaga institusi maupun dari anggota
komunitas itu sendiri. Jenis koleksi pada perpustakaan berbasis komunitas sangat
beragam, bacaan anak menjadi koleksi terbesar pada perpustakaan. Selain komik,
cerita bergambar, novel, terdapat pula buku pelajaran yang dapat menunjang
kegiatan belajar di sekolah. Sehingga siswa mendapat referensi buku selain buku
yang disediakan di sekolah masing-masing. Secara umum, pengguna perpustakaan
ini adalah kaum muda (antara 15 sampai 25 tahun), terutama siswa sekolah dan
mahasiswa (Bonneff, 1998). Tetapi pada beberapa perpustakaan, segmentasi usia
pengguna perpustakaan berbasis komunitas adalah anak berusia 3 sampai 21
tahun. Segmentasi umur tersebut mengharuskan pengurus perpustakaan
memisahkan koleksi berdasarkan umur pengguna. Pada umumnya koleksi untuk
remaja dan dewasa diletakkan pada bagian atas rak, dan koleksi untuk anak-anak
diletakkan pada rak bagian bawah. Pengurus perpustakaan juga mengadakan
pemilihan koleksi, buku yang sarat akan kekerasan, pornografi dan SARA tidak
dimasukkan ke dalam jajaran koleksi. Perpustakaan berbasis komunitas pada
umumnya berada di tempat strategis, ramai, dan dekat dengan pusat aktivitas
kegiatan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
ORGANISASI DAN ADMINISTRASI PERPUSTAKAAN KOMUNITAS
ORGANISASI PERPUSTAKAAN KOMUNITAS
PERAN PERPUSTAKAAN KOMUNITAS DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Mengelola perpustakaan komunitas : perpustakaan menjadi tempat bertemunya anak-anak, remaja, orang tua warga komunitas untuk belajar memperkaya pengetahuan. Perjalanan pengelolaan perpustakaan menjadi proses pencarian model [pengelolaan] perpustakaan yang dilakukan terus-menerus. Model impian perpustakaan komunitas baca satu sembilan adalah pusat belajar gratis, mandiri, yang dikelola secara sukarela melibatkan warga komunitas (anak dan remaja) sebanyak-banyaknya, sehingga sirkulasi buku (pinjam meminjam buku secara swalayan: memilih dan mencatat buku yang dipinjam sendiri).
2. Menyelanggarakan berbagai kegiatan edukatif baik yang relatif kontinue (seperti belajar bahasa inggris) maupun insidental dalam momen-momen tertentu seperti : lomba-lomba anak dalam momen tertentu (Misalnya hari bumi, Hut Kemerdekaan RI) 3. Memberi ruang bagi berbagai macam aktivitas warga (anak-remaja-orang dewasa), bahkan yang tidak terkait langsung dengan kegiatan komunitas baca Satu Sembilan, misalnya Mocopatan, mempromosikan penundaan dampak negatif limbah plastik (dengan mengolahnya kembali menjadi barang serba guna. Masih berupa gerakan personal). Semua kegiatan ini dilakukan dalam rangka PROSES PENCARIAN kegiatan-kegiatan edukatif yang paling sesuai dengan ciri komunitas (anak-remaja-orang tua). Beberapa Catatan Situasi dan Tantangan Komunitas (Baca Satu Sembilan)Mayoritas peminjam adalah anak-anak (SD). Tercapat 122 nama (anak, diantaranya terdapat sedikit orang dewasa /Ibu) .Mayoritas peminjam buku adalah anak perempuan. Fakta ini menimbulkan pertanyaan : Apakah anak laki-laki kurang berminat membaca buku? Mengapa anak lelaki kurang berminat pada kegiatan membaca di perpustakaan Komunitas Baca Satu Sembilan? Apakah ini ciri khas anak laki-laki di banding perempuan ?Sangat Sedikit orang tua yang memanfaatkan koleksi buku padahal jenis buku yang tersedia selain buku anak-anak, juga terdapat buku-buku untuk orang dewasa dan buku tentang pendidikan anak (meskipun sedikit). Fakta ini mencerminkan beberapa dugaan:
Ada kemungkinan kultur membaca dalam keluarga memang lemah,karna Buku-buku yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan orang dewasa. Di antara sedikit orang tua yang memanfaatkan koleksi perpustakaan ini, nampak pola pikir yang menyiratkan harapan cerah : 'wong anakku iso sinau gratis, ngopo ra dinggo'. Meskipun pola pikir dan sikap terbuka terhadap pengetahuan semacam ini belum menonjol, perlu diapresiasi, sehingga semakin menyebar luas.
Perpustakaan Berbasis Komunitas sebagai Sarana Pembentukan Nilai,
Norma dan Kepercayaan
Pada umumnya komunitas didefinisikan sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan berbagi nilai, kepercayaan, minat dan tujuan. Jika aspek
komunitas tersebut disadari, terdapat potensial eksistensi dari sebuah komunitas
dalam daerah geografi, nilai, kepercayaan, minat dan tujuan dari komunitas
tersebut. Untuk mengetahui apakah di dalam komunitas terdapat keinginan untuk
menanamkan nilai dari komunitas kepada pengguna perpustakaan, maka diajukan
pertanyaan: Adakah norma, nilai atau kepercayaan tertentu yang ingin
ditanamkan.
Menurut HTR, FLP merupakan komunitas yang berasaskan islam. FLP
ingin menciptakan tempat yang bernuansa islami dalam artian humanis, artinya
bisa diterima oleh semua agama. Selain itu melalui Rumah Cahaya, FLP ingin
menanamkan nilai-nilai islam menjadi budaya. Salah nilai islam yang ingin
ditanamkan adalah budaya membaca yang merupakan salah satu nilai islam yang
terkandung dalam Al-Quran. Rumah Cahaya menyediakan akses perpustakaan
pada warga sekitar agar masyarakat dapat terbiasa dengan kegiatan membaca. Hal
serupa juga dilakukan oleh Rumah Cahaya, wujud penanaman nilai islami
dilakukan dengan menyediakan akses membaca terbuka untuk masyarakat.
Rumah Cahaya mengusahakan agar pengadaan buku rutin dilakukan agar
pengguna dapat termotivasi untuk menyukai kegiatan membaca yang merupakan
salah satu nilai islami. Selain itu Rumah Cahaya secara rutin mengadakan
kegiatan keagamaan seperti pesantren, buka puasa bersama, dan kajian islam.
Sedangkan menurut VGR, nilai yang ingin ditanamkan ialah ingin
menjadikan anak selayaknya seperti anak-anak lainnya dengan menyediakan
mereka suatu ruang publik untuk bermain dan belajar. Jika dilihat, saat ini akses
tempat bermain dan belajar sangat terbatas karena lahan yang semakin sempit.
Selain itu, perkembangan teknologi saat ini berdampak buruk bagi anak. Salah
satunya pengaruh negatif dari tayangan televisi yang menjadikan anak sebagai
pribadi seperti yang mereka tonton. Sehingga anak-anak di masa sekarang jauh
dari kesan ‘anak’. Pada Melati Taman Baca, salah satu penekanan nilai adalah
ingin menjadikan anak selayaknya anak pada umumnya yang dipenuhi dengan
kegiatan bermain dan belajar. Salah satu wujud dalam penanaman nilai tersebut
adalah dengan mengadakan kegiatan yang memungkinkan anak dapat bermain
dan belajar seperti kegiatan bermain permainan tradisional, kegiatan baca-tulis
dan menggambar, kegiatan pembuatan keramik, dll. Kegiatan tersebut dikemas
semenarik mungkin sehingga tanpa disadari lewat permainan tersebut anak
mendapat pengajaran atau nilai tertentu.
Menurut RMI, nilai utama yang ingin ditanamkan adalah menumbuhkan
minat baca warga sekitar Kelurahan Tegal Gundil. Selain itu KALAM
menginginkan agar nilai yang terdapat pada KALAM diterapkan di perpustakaan,
salah satunya adalah menciptakan modal sosial yang kuat sehingga terciptanya
tatanan sosial yang baik di wilayah Tegal Gundil. Melalui Kedai Baca Sanggar
Barudak, KALAM ingin memperkuat hubungan masyarakat sekitar dengan
menjadikan perpustakaan tersebut menjadi tempat berkumpul. RMI menunjukkan
bahwa dalam komunitas KALAM terdapat keinginan untuk membentuk modal
sosial dalam masyarakat. Modal sosial dibentuk dengan membangun suasana
kekeluargaan, suasana aman dan nyaman sehingga timbul rasa percaya tiap
masyarakat. Modal sosial diharapkan dapat dibentuk lewat Kedai Baca Sanggar
Barudak. Selain sebagai tempat membaca, perpustakaan juga berfungsi sebagai
sarana tempat berkumpul warga sehingga suasana kekerabatan amat terasa.
Maxime Rochester menyebutkan bahwa peran sukarelawan mulai diperhatikan
oleh beberapa para ahli sosiologi, ekonomi, dll sebagai salah satu pembentuk
modal sosial (1998: 262).
Dalam membentuk suatu komunitas, diperlukan suatu modal sosial yang
dapat memperkuat dan meningkatkan kualitas komunitas. Konsep dari modal
sosial adalah membangun atau membangun kembali komunitas dan kepercayaan
yang meliputi interaksi antar muka (Beem, 1999: 20). Menurut Robert Putnam
(2000: 23) manfaat modal sosial adalah:
• Perkembangan anak secara kuat dibentuk oleh modal sosial. Hubungan
timbal balik dari kepercayaan, jaringan, dan norma pada keluarga, sekolah,
kawan sebaya dan masyarakat luas memberikan dampak luas pada
kesempatan dan pilihan yang berakibat pada perilaku dan perkembangan
anak itu sendiri.
• Modal sosial yang kuat memberikan ruang publik yang bersih, orang akan
lebih ramah, dan timbulnya rasa aman. Suatu tempat yang memiliki
tingkat kriminalitas tinggi disebabkan oleh kurangnya partisipasi dalam
organisasi kemasyarakatan, tidak memberikan pengawasan pada kaum
muda, dan tidak menyukai berhubungan antara sesama masyarakat.
• Badan penelitian mengemukakan fakta bahwa faktor kepercayaan dan
jaringan sosial tumbuh pada indivu, perusahaan, lingkungan masyarakat
dan bahkan perekonomian negara. Modal sosial dapat mengurangi
pengaruh buruk dari sosial-ekonomi yang merugikan.
• Modal sosial dapat memperkuat hubungan antar masyarakat dan dapat
meningkatkan kesehatan masyarakat. Sebagai contoh suatu daerah
memiliki klub atau klinik kesehatan akibat dari modal sosial masyarakat
yang kuat.
Dari jawaban yang diberikan oleh HTR, RMI, VGR terdapat perbedaan
nilai yang ingin ditanamkan oleh komunitas melalui perpustakaan. Untuk
membangun sebuah komunitas yang efektif, salah satu elemen yang penting
adalah saling berbagi nilai. Dalam komunitas, harus ada seperangkat tujuan dan
nilai yang diyakini dan dipenuhi secara konsisten. Nilai tersebut diwujudkan ke
dalam peraturan atau kegiatan yang diadakan di perpustakaan berbasis komunitas.
Seperti yang dikemukakan oleh informan sebelumnya bahwa tujuan didirikannya
perpustakaan berbasis komunitas adalah agar perpustakaan dapat menjadi jawaban
atas keprihatinan komunitas terhadap keadaan masyarakat sekitar mereka. Salah
satu wujud dari perubahan yang akan mereka lakukan adalah menanamkan nilai-
nilai positif yang akan merubah cara pandang masyarakat selama ini.
KESIMPULAN
Secara umum dapat disimpulkan bahwa latar belakang berdirinya
perpustakaan berbasis komunitas adalah kepedulian sebagian masyarakat untuk
meningkatkan kebiasaan membaca warga sekitar dengan menyediakan sarana bagi
masyarakat untuk mengakses kebutuhan informasi. Faktor lain yang turut adalah
rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap perpustakaan umum dalam hal kualitas
dan kuantitas perpustakaan umum saat ini. Walaupun perpustakaan yang didirikan
merupakan perpustakaan sederhana bahkan tidak memiliki fasilitas sebagaimana
layaknya perpustakaan, tetapi kehadiran perpustakaan berbasis komunitas dapat
dijadikan alternatif bagi masyarakat untuk mengakses informasi selain
perpustakaan umum. Pendiri perpustakaan yang merupakan komunitas di dalam
masyarakat mampu menunjukkan bahwa perpustakaan yang mereka dirikan bukan
hanya faktor trend belaka. Hal tersebut dapat dilihat dari eksistensi, kesungguhan
dalam membuat program pengembangan perpustakaan dan pemberdayaan
masyarakat. Pada umumnya perkembangan perpustakaan berbasis komunitas
berawal dari keinginan beberapa individu kemudian direalisasikan ke dalam
bentuk perpustakaan sederhana dan pada prosesnya terus mengalami
perkembangan sehingga menjadi sebuah perpustakaan yang dapat digunakan tidak
hanya masyarakat sekitar tetapi juga masyarakat secara luas. Meskipun sebuah
komunitas mengalami berbagai macam kesulitan dalam pendirian dan .
pengembangan perpustakaan, mereka dapat mengetahui kesulitan apa yang
dihadapi, mengetahui penyebabnya, dan kemungkinan solusi yang dijadikan jalan
keluarnya. Untuk menyelesaikan masalah, pendiri perpustakaan berbasis
komunitas belajar dari pengalaman perpustakaan berbasis komunitas lainnya,
berdiskusi dengan pihak yang mempunyai latar belakang pendidikan
perpustakaan. Berikut kesimpulan penunjang perkembangan perpustakan berbasis
komunitas.
Perpustakaan berbasis komunitas pada umumnya bukan merupakan
jaringan perpustakaan umum pemerintah. Keberadaan perpustakaan berbasis
komunitas merupakan kreasi dari masyarakat, yang termasuk di dalamnya adalah
sebuah komunitas yang merupakan bagian dari masyarakat.
Terdapat perbedaan nilai yang ingin ditanamkan oleh komunitas melalui
perpustakaan. Penanaman nilai disesuaikan dengan visi dan misi komunitas
tersebut, dan selanjutnya direalisasikan ke dalam program kerja dan kegiatan
perpustakaan berbasis komunitas.
Pada umumnya kesulitan yang dialami oleh beberapa perpustakaan
berbasis komunitas adalah minimnya dana, sumber daya manusia dan sulitnya
mendapatkan lokasi perpustakaan yang strategis. Kesulitan dana disebabkan oleh
status perpustakaan berbasis komunitas yang independent dan bukan merupakan
jaringan perpustakaan regional. Sehingga mengandalkan pemasukan dana dari
donatur baik berupa individu, lembaga atau perusahaan, yayasan, serta komunitas
tersebut. Sedangkan untuk kesulitan sumber daya manusia, disebabkan oleh
ketergantungan perpustakaan berbasis komunitas terhadap sukarelawan.
Perpustakaan mengandalkan sukarelawan karena keterbatasan biaya untuk
mempekerjakan seorang staf serta idealisme dari komunitas untuk terjun langsung
dalam pemberdayaan masyarakat. Sedangkan kesulitan penentuan lokasi
disebabkan oleh birokrasi pemerintah yang menyulitkan pendiri untuk mendirikan
perpustakaan.
Hadirnya perpustakaan berbasis komunitas juga memberikan dampak
positif. Bagi pengguna dampak positif yang dirasakan adalah meningkatnya minat
baca, hal tersebut terlihat dari meningkatnya kebiasaan membaca pengguna
perpustakaan berbasis komunitas. Dampak lain yang dialami oleh pengguna
adalah mudahnya akses informasi karena lokasi perpustakaan yang srategis serta
kegiatan yang diselenggarakan oleh perpustakaan berbasis komunitas membantu
sebagian pengguna perpustakaan dalam proses belajar di sekolah. Sedangkan
dampak positif yang dirasakan secara langsung oleh sukarelawan adalah kepuasan
batin karena telah membantu peningkatan kualitas masyarakat lewat jasa yang
mereka lakukan di perpustakaan. Selain itu perpustakaan berbasis komunitas telah
memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan oleh
sukarelawan untuk masa depan.